×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kisah Pangeran Dipati Abdurrahman dan Kerajaan Kenawangan di Sukamara

Jumat, 03 Oktober 2025 | 09.23 WIB Last Updated 2025-10-03T02:23:49Z


Jurnalis : Gusti Muhammad Sabran Rahman

Sukamara, PANI News.- Pangeran Adipati Abdurrahman bin Pangeran Muhammad Khan merupakan tokoh utama dalam sejarah berdirinya Kerajaan Kenawangan, sebuah kerajaan kecil namun bermakna besar di wilayah Kalimantan Tengah. Wilayah ini pada masa itu dikenal sebagai Desa Kenawan, yang secara administratif masih termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin, sebuah kerajaan besar yang berpengaruh di seluruh pedalaman dan pesisir barat Kalimantan Tengah. Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Imanuddin, kekuasaan Kesultanan Kotawaringin mulai terdesak oleh tekanan dan intervensi kolonial Belanda yang telah lebih dahulu mencengkeram wilayah pesisir Kalimantan sejak akhir abad ke-18.

Sejumlah orang sedang ziarah di Makam Pangeran Dipati Abdurrahman dan makam cucu beliau, Sayyid Kiagus Muhammad Saleh (Kyai Saleh Lateng) di Jalan Riau, Kelurahan Lateng Banyuwangi

Desa Kenawan sendiri terkenal sebagai wilayah yang subur, kaya akan hasil hutan dan sungai, serta memiliki tatanan sosial adat yang kuat. Masyarakatnya hidup damai dalam struktur adat yang menghormati kearifan lokal, menjunjung tinggi nilai budaya dan agama yang telah lama menjadi fondasi kehidupan mereka.

Namun, kolonial Belanda tidak tinggal diam. Mereka melihat potensi ekonomi dan posisi strategis Kenawan sebagai peluang untuk memperluas kekuasaan. Dengan dalih menjalin kerja sama dagang, Belanda perlahan-lahan melakukan penetrasi politik dan militer ke dalam struktur kekuasaan lokal. Pemerintah kolonial mulai memperkenalkan sistem pemerintahan baru yang melemahkan peran pemimpin adat dan bangsawan lokal.

Situasi ini memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Kenawan. Para tokoh adat dan bangsawan pun mengirimkan sepucuk surat ke Sumatra, tepatnya ke Kesultanan Palembang, memohon bantuan kepada saudara sesama Melayu untuk membantu mereka menghadapi tekanan dari Belanda. Surat itu sampai ke tangan seorang bangsawan muda berdarah Banjar-Palembang, yakni Pangeran Adipati Abdurrahman yang ibunda beliau yang bernama Gusti Rahayu Intan merupakan keturunan dari Sultan Tamjidillah I dari Kesultanan Banjar.

Setelah mendapat restu dari Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom dari Palembang Darussalam, Pangeran Adipati Abdurrahman segera mengorganisasi pasukan untuk berangkat ke Kalimantan. Ia tidak sendiri. Bersamanya turut serta kakaknya, Pangeran Abdur Rozaq; adiknya, Pangeran Abdullah Ali; serta kerabat lain, termasuk Pangeran Zainal Abidin. Mereka membawa pasukan besar: 300 bangsawan Palembang, 200 dari Jambi, dan 200 dari Lampung—semuanya menunjukkan kekuatan aliansi Melayu lintas wilayah yang bersatu melawan dominasi Belanda.

Rombongan besar ini berlayar ke Kalimantan dan mendarat di Pelabuhan Kumai. Dari sana, mereka menuju Desa Kenawan. Pertempuran sengit pun tak terelakkan. Berkat strategi perang dan dukungan penuh rakyat, pasukan Melayu-Sumatra berhasil memukul mundur Belanda dan merebut senjata serta logistik milik kolonial. Kemenangan ini menjadi titik balik yang mendorong terbentuknya suatu pemerintahan baru.

Sebagai bentuk penghargaan atas jasa besar tersebut, Pangeran Ratu Imanuddin dari Kesultanan Kotawaringin mengangkat Pangeran Adipati Abdurrahman sebagai Panembahan Kenawangan serta menghadiahkan wilayah khusus berupa tanah perdikan untuk komunitas Melayu-Sumatra. Wilayah tersebut kemudian dikenal sebagai Kerajaan Kenawangan.

Namun, masa pemerintahan Pangeran Adipati Abdurrahman berlangsung singkat. Ia hanya memimpin selama tiga bulan, dari 1 Januari hingga 21 Maret 1825. Setelah itu, ia kembali ke Kesultanan Palembang, kemudian setelah Kesultanan Palembang jatuh ke tangan Belanda, beliau berhijrah dan sempat menetap di Madura, kemudian beliau hijrah ke Banyuwangi hingga wafat pada tahun yang sama. Jabatan panembahan kemudian dilanjutkan oleh kakaknya, Pangeran Ratu Abdur Rozaq, yang memerintah dari 21 Maret 1825 hingga 1 Desember 1827.

Kepemimpinan Panembahan Kenawangan kemudian dilanjutkan secara bergantian oleh kerabat dekat, yaitu:

Pangeran Ratu Zainal Abidin (1827–1829)
Panembahan Marhum di Bukit / Pangeran Abdullah Ali (1829–1832)
Panembahan Marhum di Laga / Pangeran Abdullah Hamzah (1832–1835)
Panembahan terakhir, Pangeran Abdullah Hamzah, gugur dalam serangan besar-besaran oleh Belanda pada 1 Desember 1835, yang dilancarkan sejak 28 November 1835. Serangan tersebut menjadi akhir dari Kerajaan Kenawangan dan menandai hilangnya kekuasaan politik Melayu-Sumatra di wilayah tersebut.

Sebelum kehancuran, Sultan Sulaiman dari Kesultanan Banjar memberikan gelar kehormatan “Gusti” dan “Pangeran” kepada lima pemimpin utama Kenawangan sebagai bentuk penghargaan dan pengakuan atas jasa mereka:

Pangeran Adipati Abdurrahman
Pangeran Ratu Abdur Rozaq
Pangeran Ratu Zainal Abidin
Panembahan Marhum di Bukit (Pangeran Abdullah Ali)
Panembahan Marhum di Laga (Pangeran Abdullah Hamzah)
Sayangnya, peninggalan sejarah Kerajaan Kenawangan kini nyaris hilang. Tanah perdikan yang dulu dianugerahkan kini tidak terawat. Makam para raja Kenawangan pun hingga hari ini belum berhasil ditemukan. Masyarakat Desa Kenawan—kini dikenal sebagai Desa Permata Kecubung, Kabupaten Sukamara—hampir melupakan sejarah perjuangan besar ini. Jejak sejarah yang pernah membara, kini nyaris padam dalam ingatan generasi penerusnya.
×
Berita Terbaru Update