Jurnalis : Suryono
Blora,- PANI News.- Konstribusi terpenting dari Sunan Ngudung adalah ikut meletakkan pondasi moderasi dakwah dengan memanfaatkan tarian jaranan. Ada dua pendapat yang menyebutkan tentang asal usul dan tahun kemunculan kesenian jaranan. Pertama, kesenian jaranan mulai muncul sejak abad ke X atau sekitar tahun 1041 bersamaan dengan kerajaan Kahuripan terbagi dua, yaitu bagian timur kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan dan sebelah barat kerajaan Panjalu (Kediri) beribukota Dhahapura.
Kedua, kesenian jaranan sudah tumbuh dan berkembang sekitar abad 14 – 15 M. Sejarahnya dapat ditracing dari catatan Agus Sunyoto (2012) yang menyebutkan bahwa kesenian ini lahir pada masa transisi jaman Hindu ke Islam. Pada saat itu, kesenian ini oleh para wali dijadikan sebagai media penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Wali yang pertama kali mengajarkan dan menggelar kesenian jaranan adalah Sunan Ngudung.
Dikisahkan bahwa kesenian jaranan merupakan penggambaran dari kisah perjuangan Raden Fatah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Substansi nilai yang disuguhkan dalam kesenian ini selain mengandng nilai-nilai estetika, juga nilai-nilai kebaikan (ma’ruf) dan mencegah kebathilan (munkar). Kebaikan dan kemunkaran merupakan nilai yang melekat (tabiati) dalam keseluruhan dimensi kemanusiaan sebagai insan beragama. Jaranan juga mengandung nilai yang memotivasi manusia agar memiliki etos kerja tinggi dalam menghadapi kompetisi hidup yang keras. Literatur lain menyebutkan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I kesenian jaranan dikisahkan sebagai tarian perang pasukan Mataram dalam menghadapi pasukan Belanda. Kesenian jaranan disebutkan juga dikembangkan oleh sisa-sisa prajurit Pangeran Diponegoro untuk menyatukan rakyat pribumi melawan penjajah.
Keterkaitan antara kesenian dan dakwah paralel dengan dua sisi mata uang koin yang saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan memiliki kesamaan misi yaitu sebagai perantara pesan kepada seseorang atau kelompok. Islam merupakan mata air bagi kesenian dan sebaliknya kesenian digunakan untuk ketinggian syiarnya agama. Islam tidak mengenal konsep dan paham “seni untuk seni”, tetapi seni untuk akhlak al karimah. Pada masa transisi dari Hindu ke Islam pada abad 14 – 15 masyarakat Jawa telah memiliki kesenian dan kebudayaan yang mengakar. Sejumlah kesenian dan kebudayaan itu kemudian dimodifikasi untuk keperluan syiar Islam dengan tanpa mengubah substansi nilai di dalamnya, sebagaimana kesenian wayang kulit.
Terpisah dari adanya silang pendapat mengenai asal-usul dan tahun kemunculan tari jaranan, fakta sejarah (sebagai diungkap oleh Agus Sunyoto) menunjukkan tari jaranan pernah dijadikan Sunan Ngudung sebagai media dakwah pada masa pemerintahan Raden Fatah. Bathoro Katong, Raja Islam Ponorogo, juga menggunakan kesenian jaranan yang telah dimodifikasi menjadi reog untuk kepentingan dakwah Islam.
Sejumlah atraksi yang ditampilkan melalui lambang dan simbol dalam tari jaranan berkaitan dengan watak dasar manusia. Simbol tersebut kemudian divisualisasikan secara estetis antara kemunkaran, kebenaran, keindahan dan ketuhanan. Unsur dakwah dalam tari jaranan tergambar mulai unsur tari sembahan, instrumen, tembang busana dan tokoh. Unsur gamelan menggambarkan makna moralitas yang ditransmisikan melalui bunyi alat musik mengajak kontemplasi pendengarnya agar selamat di dunia dan akhirat. Unsur tembang memaknakan dan menggambarkan pesan keagamaan agar dijadikan pedoman dalam kehidupan umat manusia. Unsur busana yang disebut dengan “iket” merefleksikan anjuran untuk menutup aurat. Tokoh tari jaranan digambarkan dalam simbol kuda yang ditunggangi manusia agar berjalan lurus sesuai nilai-nilai Islam di tengah berbagai macam godaan untuk berbuat kemunkaran. Simbol kemunkaran dalam tari jaranan digambarkan dengan barongan dan celeng.
Akhirnya dari rekonstruksi sejarah yang dibuat oleh para sejarawan, memperlihatkan bahwa kreativitas Sunan Ngudung menciptakan tari jaranan sebagai fakta bahwa dakwah mampu bersanding dengan tradisi, kebudayaan, dan bahkan keyakinan lain. Ada ungkapan bijak: “kebenaran harus disampaikan dengan cara yang benar pula”. Di antara cara menyampaikan kebenaran itu merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek, menjamu bukan menggurui, dan mengajarkan dengan keramahan bukan kemarahan.
Seperti yang telah dirilis pada 02 Maret, 2021 Oleh: Prihananto, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, di https://nursyamcentre.com/artikel/khazanah/tari_jaranan_kreasi_sunan_ngudung_untuk_berdakwah